Kamis, 09 Juni 2011


Kunci keberhasilan pengobatan anak yang menderita gangguan Hipotiroid Kongenital adalah deteksi dini dan pengobatan sebelum berumur 1-3 bulan, yang secara kasat mata sulit diketahui. Gangguan penyakit baru akan nampak manifestasinya setelah anak berumur kurang lebih satu tahun, ujar Dr. Budihardja, DTM&H, MPH, Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak ketika membuka seminar  “Skrining Bayi Baru Lahir untuk Mencegah Keterbelakangan Mental” di Jakarta, 25 Mei 2011.
Menurut Dirjen Bina Gizi dan KIA, skrining atau uji saring pada bayi baru lahir atau Neonatal Screening dilakukan untuk mendapatkan generasi yang berkualitas. Skrining adalah tes yang dilakukan pada saat bayi baru berumur beberapa hari, untuk mengetahui adanya gangguan sejak awal kelahiran, sehingga apabila ditemukan gangguan/kelainan dapat diantisipasi sedini mungkin.

“Seringkali bayi baru lahir tampak normal dan tidak terlihat sakit atau seperti ada gangguan. Kondisi Hipotiroid Kongenital baru dikenali setelah timbul gejala khas dan sudah terjadi dampak permanen yang baru nampak manifestasinya setelah anak berumur kurang lebih 1 tahun. Akibatnya penderita mengalami gangguan pertumbuhan atau Cebol dan mental terbelakang/ retardasi mental”, tambah Dr.Budihardja.

Mengingat pentingnya program skrining bayi baru lahir khususnya Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK) sebelum usia 2 bulan perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat maupun kepada tenaga kesehatan terkait khususnya di rumah sakit agar skrining bayi baru lahir dijadikan sebagai prosedur tetap.

Upaya tersebut telah dilakukan organisasi profesi dan Kementerian Kesehatan RI sejak tahun 2009 melalui Kelompok Kerja Program Skrining Bayi Baru Lahir (Pojoknas Skrining BBL). “Kegiatan ini merupakan usaha mensosialisasikan dan melancarkan pelaksanaan skrining hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir, dan telah direkomendasikan 2 (dua) laboratorium RSHS dan laboratorium RSCM. Namun begitu, masih dibutuhkan usaha yang sangat besar dan juga koordinasi dengan pihak swasta agar pelaksanaan skrining pada bayi baru lahir ini dapat dilakukan di seluruh Indonesia”, tambah Dr. Budihardja.

Dr. Budihardja menjelaskan berdasarkan telaah rekam medis tahun 1995 di RSCM dan RSHS terhadap 134 anak, menunjukkan bahwa lebih dari tujuh puluh (70) persen penderita didiagnosis setelah umur satu (1) tahun dan hanya dua koma tiga (2,3) persen dibawah 3 bulan, dimana akibat dari penyakit ini adalah gangguan pertumbuhan dan mental terbelakang pada penderita.

Deteksi dini melalui skrining pada bayi baru lahir merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan generasi berkualitas untuk kemajuan bangsa agar dapat bersaing dalam persaingan global.

Sebagian besar negara di dunia, skrining pada bayi baru lahir sudah dilakukan secara rutin. Di Amerika dan Eropa mulai tahun 1974, Hongkong sejak 1978, dan Inggris sejak 1982. Sementara untuk negara-negara ASEAN, Singapura sudah memulai sejak 1982, Malaysia sejak 1991, disusul Thailand dan Philipina pada tahun 1992 dan 1996.

sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2011

0 komentar:

Posting Komentar